Hembusan angin
senja meniup rambutnya. Alista melangakah keluar dari rumahnya. Tiba-tiba
ponselnya berdering sekali.
Alista membuka slide ponselnya “kau
dimana? Ada yang ingin aku bicarakan padamu sekarang”
Dengan cepat ia membalas “oke. Kita ketemu
di warkop Cendrawasih”
**
Delapan belas menit
kemudian, Alista dan Irine sudah berada dalam warkop yang berdesain minimalis
tapi menarik dan elegant. Di warkop itu cuma ada beberapa perbaduan warna yang
tidak begitu mencolok. Itu yang menyebabkan Alista betah berjam-jam berada
ditempat itu.
Irine memulai percakapan “begini, baru
saja aku terima BBM dari Satya, kakak kelasku sewaktu SMA dulu. Dia
menanyakan kamu, bahkan dia meminta nomor teleponmu. Bagaimana, kau mau?” Irine
tersenyum penuh gairah
Alista mengernyit “ah tidak mau! Aku
tidak suka padanya, lagipula saat ini aku mau fokus UN”
“ayolah Sta,
memang sekarang kamu tidak suka padanya. Tapi kalau kau mengenalnya lebih
dalam, bisa saja kau jatuh cinta padanya” rayu Irine
Alista menghembuskan napas pasrah “yaah
terserah kau saja”
Irine tersenyum lebar “kau memang
temanku yang paling baik” Irine bangkit dari kursi “oh ya, kalau dia mengirim SMS padamu, balas ya. Aku pulang duluan,
masih ada urusan yang harus aku selesakan”
**
Alista, seperti biasa, masih duduk nyaman
di dalam warkop favoritnya. Ia menyesap Moccacinonya
sambil memainkan gadget-nya. Ponsel yang
ia letakkan diatas meja bergetar. Siapa lagi
ini!! Gerutunya dalam hati.
“hey,
ini aku Satya. Kamu Alista, kan?”
Pesan singkat yang baru saja ia terima dari
Satya sekejab membuat jantung Alista berdetak cepat. Buru-buru ia membalas “iya,
ini aku Alista. Ada apa, Kak?”
Tiga menit kemudian, Satya membalas “tidak
kenapa-kenapa. Hanya saja aku ingin mengajakmu makan malam, kau punya waktu?”
Alista tersenyum. “iya”
**
Hari berjalan
sesuai harapan Alista. Senyum dan tawa selalu mengembang diwajahnya. Ada dua
hal yang menjadi alasan dari senyum Alista, yang pertama Satya dan yang kedua
perhatian dari Satya yang selalu ada untuknya. Hidup Alista berubah semenjak
bertemu dengan Satya si ‘Moodbooster’. Tetapi
dua hari terakhir ini begitu buruk
baginya. Tak satupun pesan singkat dari Satya. Tak ada pesan ajak makan malam
seperti hari-hari sebelumnya. Jangankan ajakan makan malam, menanyakan kabar
pun tak ada. Dia dimana? Apakah dia
memikirkan aku sesering aku memikirkannya? Cemasnya dalam hati.
Alista memutuskan
pergi merenungkan diri di warkop yang dianggapnya rumah keduanya. Disana ia
memesan kopi pahit. Entahlah, sudah berapa gelas kopi yang ia habiskan. Ia mengetuk
ponselnya menggunakan jari. “ah kenapa orang ini tidak menghubungiku sampai
saat ini?!” keluhnya. Tiba-tiba suara berat lelaki membuyarkan lamunannya.
“nona, sudah
bercangkir-cangkir kopi yang Anda minum. Gadis seperti anda tidak begitu baik
mengonsumsi kopi secara berlebihan” sapa
pelayan warkop dengan nada khawatir. Alista hanya tersenyum. Senyum yang
dipaksakan.
Alista meraih
gadget dari tas tangannya. “ah ini, kenapa baru sekarang dapat akal?”
Dengan segera ia mengetuk icon burung biru. “at sa-t-ya, ah ketemu,
ini dia yang aku ca...” ucapannya terhenti. Tubuhnya runtuh, jantungnya hampir
saja meloncat. Sebelah tangannya membekab mulutnya, ia tak percaya. Air matanya
meluncur, pipinya basah.
Matanya
terpaku pada biografi akun twitter Satya bertuliskan nama wanita.
Darahnya membeku. Alista dengan
cepat meraih ponsel yang ada di meja. Ia menekan nomor tiga “brengsek kau Satya,
ternyata selama ini kau berselingkuh dengan wanita itu!! Tidak ku sangka setega
itu kau Satya!!!!”
Satya tertawa licik “apa kau
bilang, berselingkuh? Alista, harusnya kau sadar. Selama ini diantara kita
tidak ada hubungan apa-apa!”
“jadi makan malam, jalan-jalan,
dan segala perhatianmu kau anggap apa, Satya?” nada bicara Alista mulai meninggi.
Lagi-lagi Satya tertawa “bodoh
kau Alista, kau yang terlalu peka. Sejauh ini aku hanya menganggapmu sebagai
adik saja, tidak lebih!”
Airmata mengalir deras di pipi
Alista. “tapi a..ku men..cin..taimu..
Satya..” bantahnya terbatah-batah “aku sungguh mencintaimu, Satyaaa!”
“sudahlah Alista, lupakan saja
aku. Aku sudah bahagia bersama dia”
Alista tak kuasa menahan
isakannya. Tubuhnya melemah, ponsel yang digenggamnya jatuh.
**
Sejak peristiwa yang memilukan
itu, tak ada seorangpun yang bisa menggoyahan persepsi Alista. Bahwa keputusan
untuk mencintai kakak kelas itu konyol. Relatif.